Pendahuluan: Jejak Abadi di Samudra Digital
Era internet telah merevolusi cara manusia berinteraksi, bekerja, dan berbagi informasi. Di satu sisi, konektivitas global dan akses instan ke informasi telah membawa manfaat luar biasa bagi peradaban. Namun, di sisi lain, sifat permanen dan mudah dicari dari informasi digital telah menimbulkan tantangan serius terhadap hak fundamental individu: Hak atas Privasi. Setiap interaksi, unggahan, komentar, atau bahkan sekadar penyebutan nama di dunia maya meninggalkan jejak digital yang abadi. Jejak ini, seiring berjalannya waktu, bisa menjadi bumerang, mengganggu kehidupan, karier, atau reputasi seseorang, bahkan setelah peristiwa tersebut tidak lagi relevan.
Dalam konteks inilah muncul sebuah konsep hukum dan etika yang semakin penting di kancah global: Hak untuk Dilupakan (Right to be Forgotten – RTBF). Konsep ini pada dasarnya adalah hak setiap individu untuk meminta penghapusan, atau setidaknya pembatasan akses, terhadap data pribadi tertentu yang tersimpan di internet, terutama pada mesin pencari, ketika data tersebut dianggap tidak lagi relevan, tidak akurat, berlebihan, atau melanggar hukum.
I. Definisi dan Asal-Usul Hak untuk Dilupakan
A. Apa Itu Hak untuk Dilupakan?
Secara harfiah, Hak untuk Dilupakan bukan berarti menghapus informasi dari seluruh internet—sebuah upaya yang hampir mustahil—tetapi lebih merujuk pada hak untuk meminta “delisting” (penghapusan tautan) dari hasil pencarian mesin pencari. Tujuannya adalah untuk memutus mata rantai antara nama seseorang dan informasi negatif atau sensitif yang sudah usang atau tidak lagi diperlukan untuk tujuan publik.
Konsep ini berakar pada hak atas perlindungan data pribadi dan hak atas privasi, mengakui bahwa individu berhak untuk menjalani kehidupan mereka tanpa dibayangi selamanya oleh kesalahan masa lalu atau informasi yang tidak lagi relevan. Ini adalah pengakuan atas “hak untuk berevolusi” dan “hak atas permulaan yang baru” dalam lingkungan digital.
B. Momen Kelahiran Global: Kasus Costeja
Meskipun ide dasarnya telah diperdebatkan sebelumnya, Hak untuk Dilupakan memperoleh perhatian global dan legitimasi hukumnya melalui putusan penting oleh Mahkamah Eropa (European Court of Justice – ECJ) pada tahun 2014 dalam kasus Google Spain vs. Mario Costeja González.
Costeja, seorang warga negara Spanyol, mengajukan tuntutan kepada Google karena hasil pencarian namanya menampilkan tautan ke berita lama (tahun 1998) mengenai penyitaan propertinya terkait utang yang telah lama diselesaikan. Ia berargumen bahwa informasi tersebut kini tidak relevan dan merusak reputasinya. ECJ memutuskan bahwa operator mesin pencari (dalam hal ini Google) bertanggung jawab atas pemrosesan data pribadi dan dapat diwajibkan untuk menghapus tautan dari hasil pencarian yang dianggap tidak memadai, tidak relevan, atau berlebihan, terutama sehubungan dengan berjalannya waktu. Putusan ini menjadi tonggak sejarah, meletakkan dasar bagi penerapan RTBF secara formal di Eropa.
II. Pilar Regulasi: General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa
Pengaturan Hak untuk Dilupakan diperkuat secara resmi dan komprehensif melalui General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa yang berlaku efektif pada tahun 2018.
A. Pasal 17 GDPR: Hak atas Penghapusan (Right of Erasure)
Dalam GDPR, Hak untuk Dilupakan secara eksplisit diatur dalam Pasal 17, yang disebut Hak atas Penghapusan (Right of Erasure). Pasal ini memberikan hak kepada subjek data untuk meminta pengendali data (data controller) untuk menghapus data pribadi mereka tanpa penundaan yang tidak semestinya, jika salah satu dari kondisi berikut terpenuhi:
- Data tidak lagi diperlukan untuk tujuan pengumpulannya.
- Subjek data menarik kembali persetujuan yang menjadi dasar pemrosesan data, dan tidak ada dasar hukum lain untuk pemrosesan tersebut.
- Subjek data keberatan atas pemrosesan dan tidak ada alasan sah yang mendesak untuk melanjutkan pemrosesan.
- Data pribadi telah diproses secara melanggar hukum.
- Data pribadi harus dihapus untuk mematuhi kewajiban hukum di Uni Eropa atau negara anggota.
- Data pribadi dikumpulkan sehubungan dengan penawaran layanan masyarakat informasi kepada anak-anak.
B. Tantangan Penerapan GDPR: Globalitas vs. Kedaulatan
Salah satu kontroversi terbesar dalam penerapan RTBF di bawah GDPR adalah cakupan geografis penghapusan. Google awalnya menerapkan delisting hanya pada domain Uni Eropa (misalnya, google.fr, google.de). Namun, regulator dan pengadilan di beberapa negara UE menuntut agar penghapusan tersebut berlaku secara global (di semua domain, termasuk https://www.google.com/search?q=google.com), dengan alasan bahwa internet bersifat global. Mahkamah Eropa, dalam putusan lanjutan (kasus Google v CNIL, 2019), akhirnya memutuskan bahwa operator mesin pencari hanya diwajibkan untuk menerapkan delisting di negara-negara Uni Eropa, tetapi juga harus mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mencegah pengguna dari UE mengakses tautan yang dihapus melalui versi mesin pencari non-UE (misalnya, dengan pemblokiran geografis atau geoblocking).
III. Hak untuk Dilupakan di Indonesia
Meskipun Indonesia belum memiliki undang-undang perlindungan data pribadi (UU PDP) sekomprehensif GDPR, konsep Hak untuk Dilupakan telah diakui dalam kerangka hukum nasional, terutama dalam amandemen Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
A. Pengaturan dalam UU ITE
Hak untuk Dilupakan diakomodasi dalam Pasal 26 Ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE. Pasal tersebut menyatakan:
“Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.”
Ketentuan ini kemudian diperjelas dalam peraturan pelaksana, dan yang lebih penting, diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), meskipun fokus UU PDP lebih luas pada perlindungan dan penghapusan data.
B. Mekanisme dan Tantangan di Indonesia
Penerapan RTBF di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan signifikan:
- Wajib Penetapan Pengadilan: Berbeda dengan GDPR yang memungkinkan permintaan langsung ke pengendali data (dengan hak untuk mengajukan banding ke otoritas pengawas), Pasal 26 Ayat (3) UU ITE mensyaratkan adanya penetapan pengadilan untuk penghapusan informasi yang tidak relevan. Proses litigasi ini bisa memakan waktu, biaya, dan kompleksitas yang tinggi, menjadikannya kurang efektif bagi individu biasa.
- Interpretasi “Tidak Relevan”: Frasa “tidak relevan” dalam UU ITE memiliki makna yang luas dan berpotensi menimbulkan perdebatan, terutama dalam kasus yang melibatkan kepentingan publik atau berita jurnalistik.
- Keseimbangan dengan Hak atas Informasi dan Kebebasan Berekspresi: Regulasi Hak untuk Dilupakan harus selalu diimbangi dengan hak publik untuk mengetahui (right to know), hak atas informasi, dan kebebasan pers. Tidak semua informasi negatif boleh dihapus, terutama jika menyangkut tokoh publik, kasus kejahatan serius, atau informasi yang memiliki nilai sejarah atau kepentingan publik yang signifikan dan berkelanjutan.
IV. Kontroversi dan Keseimbangan Hukum
Hak untuk Dilupakan adalah hak yang kompleks karena secara inheren menimbulkan ketegangan antara berbagai hak fundamental.
A. RTBF vs. Kebebasan Berekspresi dan Pers
Para kritikus RTBF, terutama dari kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan berekspresi, berpendapat bahwa penerapan hak ini sama dengan bentuk sensor atau “pembersihan sejarah.” Mereka khawatir bahwa orang-orang berkuasa dapat menggunakan RTBF untuk menekan berita negatif yang benar dan relevan, meskipun usang. Intinya, ingatan digital berfungsi sebagai catatan sejarah, dan menghapus catatan tersebut dapat menghambat hak publik untuk memiliki akses ke kebenaran.
B. RTBF vs. Kepentingan Publik
Hukum, terutama di bawah GDPR, telah menyediakan pengecualian. Hak atas penghapusan tidak berlaku jika pemrosesan data diperlukan untuk:
- Pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi dan informasi.
- Kepatuhan terhadap kewajiban hukum atau pelaksanaan tugas yang dilakukan demi kepentingan publik.
- Alasan kepentingan publik di bidang kesehatan masyarakat.
- Tujuan pengarsipan demi kepentingan umum, tujuan penelitian ilmiah atau sejarah, atau tujuan statistik.
- Pembentukan, pelaksanaan, atau pembelaan klaim hukum.
Pengecualian ini berfungsi sebagai filter penting untuk memastikan bahwa informasi yang signifikan secara publik, seperti catatan kriminal tokoh masyarakat yang masih relevan dengan peran mereka, tetap dapat diakses.
V. Masa Depan Hak untuk Dilupakan
Seiring teknologi berkembang, terutama dengan munculnya deepfake, kecerdasan buatan, dan blockchain, tantangan terhadap Hak untuk Dilupakan juga ikut berevolusi.
A. Peran Kecerdasan Buatan (AI)
Sistem AI kini dapat menghasilkan konten baru dari data yang ada, bahkan yang sudah dihapus secara tradisional. Penerapan RTBF di masa depan harus mempertimbangkan bagaimana data yang dilupakan dapat dicegah untuk digunakan oleh model AI dalam pelatihan atau pembentukan data baru.
B. UU PDP dan Otoritas Pengawas
Pengesahan UU PDP di Indonesia pada tahun 2022 membawa harapan untuk mekanisme yang lebih jelas dan implementatif terkait hak penghapusan data, termasuk pembentukan otoritas pengawas yang independen. Otoritas ini diharapkan dapat menjadi mediator yang lebih cepat dan efisien antara subjek data dan pengendali data, mengurangi ketergantungan pada proses pengadilan yang panjang untuk kasus-kasus penghapusan data pribadi yang jelas-jelas melanggar atau tidak relevan.
Kesimpulan
Hak untuk Dilupakan adalah respons hukum modern terhadap tantangan unik yang ditimbulkan oleh ingatan permanen internet. Ini adalah upaya untuk menyeimbangkan kekuatan antara ingatan digital yang tak terbatas dengan martabat manusia dan hak individu untuk mengendalikan narasi hidup mereka sendiri. Meskipun diatur dengan kuat di Eropa melalui GDPR, penerapannya di Indonesia masih berada di tahap awal, membutuhkan harmonisasi lebih lanjut antara perlindungan data pribadi dan kebebasan informasi. Pada akhirnya, RTBF bukanlah tentang menghapus sejarah, melainkan tentang memberdayakan individu untuk menentukan kapan masa lalu mereka yang usang tidak lagi mendikte masa depan mereka di dunia online.